KEHILANGAN
Aku tidak tahu apakah ini sudah
waktu yang tepat buat aku untuk menceritakan cerita kehilangan ku, karena
takutnya ini akan menjadi sasaran emosional sehingga menambah kesedihan di
hati. Namun aku akan mencoba menceritakan dengan hati yang berusaha legowo,
karena semua sudah ditata sedemikian rupa oleh Allah SWT.
Akan aku mulai.
Aku kehilangan anak pertama ku di tahun 2024, belum genap berumur 2 bulan anak ku lahir, namun Allah SWT berkata lain atas takdir kematian nya.
Perasaan ditinggal dengan cara
kematian adalah hal yang awam olehku, bersyukur aku tidak pernah merasakan
sebelumnya. Namun untuk pertama kali aku merasakan hal tersebut, dipilihlah
takdir kepada Anak pertama ku.
Saat dokter sudah menjelaskan
bahwa ‘Anak ku tidak bisa bertahan lebih lama lagi,’ aku sudah mati rasa sejak
itu. Aku merasakan bahwa anak ku sudah dipanggil Allah beberapa jam yang lalu,
meskipun layar monitor ICU masih terlihat detak jantung nya, namun aku sudah
merasa bahwa ini adalah perasaan kematian pertamaku, yakni kematian Anak ku. Ketika
sudah tiba pengumuman bahwa anak ku dinyatakan meninggal oleh tim medis, aku
tidak bisa meneteskan air mata lagi, karena tangis itu sudah aku luapkan
sebelum pengumuman meninggal itu datang. Kata orang tua ku, aku cukup tegar
saat kematian anak ku. Aku masih mampu memandikan badan nya untuk terakhir
kali, aku masih turut mengenakan baju (kafan) untuk terakhir kali, aku masih
turut memeluk saat akan disholati untuk terakhir kali, dan aku masih ikut menidurkannya
(dimakamkan) untuk terakhir kali, didalam hatiku hanya berkata ‘Anak ku sudah
besar, berani tidur sendirian tanpa mama-papa nya.’ Bahkan saat para pelayat
datang takziah menemuiku, meminta cerita kronologinya, aku masih benar-benar
mampu untuk bercerita sedetail mungkin.
Tapi tidak bisa dipungkiri, saat
shubuh pagi keesokan hari nya, aku masih mencari anak ku disebelah badanku. Aku
masih merasa kalau dia masih dipelukanku seperti biasanya saat memberikan Asi,
setelah itulah tangis histeris ku mulai datang terus menerus. Hidupku sudah
berbeda sekarang, hati tidak pernah merasakan penuh, selalu ada ruang kosong sepi
dan sakit di hatiku. Aku baru merasakan kalimat yang sering diutarakan
orang-orang diluar sana tentang “Tidak ada sebutan nya untuk orang tua yang
kehilangan anak nya,” aku mengakuinya, karena perasaan itu sangat sakit untuk
dijelaskan.
Selalu ada rasa bersalah disetiap
langkah ku ketika tetap menjalankan hidup seperti orang normal. Selalu ada rasa
sesak di dada, ketika aku mulai tertawa dengan sesuatu hal. Selalu ada rasa
penyesalan, kenapa aku tidak melakukan yang lebih untuk anak ku agar tetap hidup.
Selalu ada catatan dosa atas pertanyaan yang selalu ada dibenak ku, “Kenapa
harus anak ku?” yang selalu aku tanyakan kepada Allah SWT. Dan selalu merasa
bahwa aku sebagai Ibu yang tidak layak untuk hidup, karena mempertahankan nyawa
anak ku saja aku tidak mampu.
Terkadang aku mampu berfikir
jernih kalau semua yang sudah terjadi adalah takdir terindah, dan akan
mendapatkan hikmah yang tidak kalah indah untuk keluargaku kedepannya. Meskipun
sering kali fikiran buruk itu selalu hadir, kenapa harus terjadi dikehidupanku
dan keluargaku. Dua pemikiran itu selalu ada berdampingan setiap aku masih bisa
bernafas di dunia ini. Tentunya aku berharap bahwa pemikiran untuk tetap tabah
dan ikhlas agar lebih mendominasi.
Mencoba untuk menerima kehilangan
bukan hal yang mudah seperti yang diucapkan, karena harus ada hati yang lapang
dan mental yang kuat untuk tetap menyadari bahwa “Kita sebagai manusia tidak
mempunyai kuasa atas semua takdir-Nya.” Mengikhlaskan kehilangan menurutku
menjadi sebuah proses panjang untuk kehidupanku kedepannya. Aku harus siap
bertarung dengan hati yang mudah terombang-ambing dengan emosi yang belum stabil.
Sebagai Ibu yang bahkan belum
selesai masa nifas, namun harus menjalani itu tanpa bayi didekapannya. Sebagai Ibu
yang masih dalam fase recovery melahirkan, namun harus menjalani itu tanpa tawa
sang bayi dimatanya. Sebagai Ibu yang masih mengeluarkan Asi, namun harus
merelakan itu karena tanpa bayi disampingnya. Sebagai Ibu yang selalu berdoa
untuk kelancaran dalam merawat anak, namun ternyata harus diakhiri dengan takdir
yang berbeda. “Manusia hanya bisa berencana, tetapi semua terjadi atas kehendak
Allah SWT,” kalimat tersebut semakin nyata bahwa aku hanya mampu berserah atas
semua yang terjadi di hidupku. Sebesar apapun keinginanku, jika memang Allah
SWT ingin menunda, ingin menghilangkan, atau menghadirkan, semua akan ditata
seindah mungkin untuk hamba Nya.
Semua tulisan menenangkan, semua
bacaan yang menenangkan, dan semua ucapan yang menenangkan, aku selalu berharap
akan terjadi kepadaku.
Sebagai seorang manusia dan seorang ibu yang kehilangan anak, aku hanya mau berpesan kepada kalian yang membaca dan kepada sosok ku dimasa depan, “Kamu luar biasa sudah kuat menghadapi takdir-Nya dengan tabah dan ikhlas tanpa henti. Kamu akan mendapatkan hadiah dari Allah atas proses yang telah dilewati. Kamu akan menjadi manusia yang selalu bersyukur. Kamu akan menjadi Ibu yang luar biasa untuk anak-anak mu selanjutnya. Kamu akan menjadi istri yang selalu disayang oleh suamimu. Kamu akan menjadi anak yang menyejukkan untuk orang tua. Kamu akan menjadi manusia yang bermanfaat dan memberikan kebahagiaan untuk orang sekitarmu. Dan kamu akan menjadi manusia yang bahagia atas semua hal positif yang selalu dilakukan.”
Untuk anak ku yang sudah ada di surga-Nya,
“Kepada Anak Surga – Anak Sholehnya Mama-Papa. Nak, Mama bersyukur sekali telah diberikan kesempatan untuk membersamaimu didalam kandungan dan menjagamu hingga kamu tiada Nak. Jika ada kesempatan kembali, Mama selalu bersedia untuk menjadi Ibu mu lagi Nak. Mama minta maaf jika belum mampu membersamaimu selamanya, Mama minta maaf jika mama masih banyak kurang dalam merawatmu di waktu yang singkat ini Nak. Mama berterima kasih atas kehadiranmu Nak. Mama merindukanmu selamanya. Mama mencintaimu selamanya. Mama akan berusaha untuk menjadi manusia yang baik agar bisa lebih cepat menyusulmu di surga-Nya ketika Mama meninggal. Mama ingin memelukmu untuk waktu yang lama nak. Tolong selalu hadir dalam mimpi Mama, karena sampai 7 bulan setelah kepergianmu, Mama belum pernah didatangi sekalipun olehmu Nak. Maafkan Mama jika untuk waktu yang lama, tangis Mama masih selalu ada karena mengingatmu. Bisakah Mama diberikan kepercayaan oleh-Nya untuk merawat adik-adikmu kelak Nak? Setelah kehilanganmu, Mama takut namun Mama rindu dengan kehadiran bayi kecil Mama. Nak, salamkan syukur Mama dan Papa pada Nabi Ibrahim AS dan Siti Sarah yang sedang mengasuhmu dengan cara yang terbaik wahai Anak Surgaku.”
Cerita kehilangan pertamaku,
yakni kematian Anak ku. Aku berharap, jangan berikan kesedihan lagi untuk waktu
yang lama. Biarkan perasaanku telah sembuh dan mampu untuk menjaga keturunanku
selanjutnya bersama dengan semua keluargaku.
Note : Mohon maaf jika penataan
kalimatnya terlalu emosional dan tidak teratur, karena cukup susah untuk
menjelaskan sebesar apa usaha untuk menerima kehilangan.
Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar